Perempuan di Indonesia memiliki sejarah panjang dalam perjuangan hak dan kesetaraannya dengan laki-laki.
Sejak zaman pra-kolonial hingga kini, perempuan menghadapi berbagai tantangan dan hambatan yang disebabkan oleh budaya patriarki yang mendominasi masyarakat.
Budaya patriarki adalah sistem nilai dan norma yang menempatkan laki-laki sebagai otoritas tertinggi dan perempuan sebagai subordinatnya.
Budaya ini membatasi ruang gerak dan potensi perempuan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain.
Namun demikian, perempuan di Indonesia tidak tinggal diam menghadapi kondisi ini. Mereka berusaha untuk mengubah nasibnya dengan berbagai cara, mulai dari menuntut pendidikan, membentuk organisasi, menulis karya sastra, berpartisipasi dalam gerakan nasional, hingga memimpin negara. Berikut adalah sejarah singkat perempuan di Indonesia dari masa patriarki hingga era emansipasi.
Masa Pra-Kolonial: Perempuan Berkuasa
Menurut sejarawan Peter Carey dan Titi Surti Nastiti, masyarakat Nusantara sebelum kedatangan bangsa Eropa tidak bersifat patriarkis dalam tatanan sosialnya.
Justru, mereka memiliki kecenderungan perspektif polinesia yang bersifat matriarki. Budaya ini masih berbekas pada praktik yang dilakukan masyarakat Minangkabau dan Aceh.
Bahkan pada masa sebelum kedatangan bangsa Eropa, perempuan memiliki peran yang sama dengan laki-laki.
Bukti sejarah menunjukkan bahwa perempuan di Nusantara memiliki posisi yang tinggi dan dihormati.
Beberapa contoh tokoh perempuan yang menjadi pemimpin politik di masa pra-kolonial adalah Tribhuwana Wijayatunggadewi (ratu Majapahit), Ken Dedes (ratu Singhasari), Gayatri Rajapatni (ratu Majapahit dan Singhasari), Nyai Roro Kidul (ratu Samudera Pasai), Putri Hang Li Po (putri Kaisar Tiongkok yang menikah dengan Sultan Malaka), dan lain-lain.
Masa Kolonial: Perempuan Terbelenggu
Masa kolonialisme Belanda membawa perubahan besar bagi masyarakat Nusantara, termasuk bagi perempuan.
Budaya patriarki yang dibawa oleh bangsa Eropa mulai merasuki tatanan sosial dan menggeser posisi perempuan yang sebelumnya setara dengan laki-laki.
Perempuan mulai dipandang sebagai objek yang harus tunduk pada otoritas laki-laki, baik suami, ayah, maupun penguasa kolonial.
Salah satu bentuk penindasan terhadap perempuan di masa kolonial adalah praktik pergundikan atau perkawinan campuran antara laki-laki Belanda dengan perempuan pribumi.
Praktik ini dilakukan oleh para pejabat kolonial atau pedagang Belanda yang datang ke Nusantara tanpa membawa istri dari Eropa.
Mereka memilih mengawini atau menjadikan gundik perempuan lokal untuk memenuhi kebutuhan seksual atau ekonomi mereka.
Anak-anak hasil perkawinan campuran ini disebut sebagai golongan Indo atau Eurasia. Mereka memiliki krisis identitas karena tidak diakui oleh ayah mereka yang kembali ke Eropa atau memiliki istri lain di sana.
Mereka juga sering ditempatkan di panti asuhan atau dibuang begitu saja oleh ayah mereka. Mereka tidak memiliki hak waris atau hak asuh yang sah.
Selain itu, perempuan di masa kolonial juga mengalami pembatasan akses pendidikan formal. Pemerintah kolonial hanya menyediakan pendidikan dasar bagi anak-anak pribumi, termasuk perempuan.
Pendidikan lanjutan hanya diperuntukkan bagi golongan Eropa atau Indo. Hal ini membuat banyak perempuan pribumi tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka setelah usia tertentu.
Masa Kemerdekaan: Perempuan Berjuang
Masa kemerdekaan Indonesia membuka peluang bagi perempuan untuk berperan aktif dalam membangun bangsa dan negara.
Perempuan tidak hanya terlibat dalam perjuangan fisik melawan penjajah, tetapi juga dalam perjuangan politik dan sosial untuk menuntut hak-hak mereka sebagai warga negara yang setara dengan laki-laki.
Salah satu tokoh perempuan yang sangat berpengaruh dalam sejarah emansipasi wanita di Indonesia adalah Raden Ajeng Kartini.
Kartini lahir di Jepara pada 21 April 1879 dari keluarga bangsawan Jawa. Ia merupakan salah satu anak perempuan pertama yang mendapatkan pendidikan formal di sekolah Belanda.
Namun, ia harus menghentikan pendidikannya ketika ia berusia 12 tahun karena harus menjalani pingitan atau masa menjelang perkawinan.
Kartini tidak puas dengan kondisi ini dan ingin melanjutkan pendidikannya di Eropa. Ia mulai menulis surat-surat kepada teman-temannya di Belanda untuk mengekspresikan pemikiran dan aspirasinya tentang nasib perempuan pribumi di bawah penjajahan dan patriarki. Ia juga membaca buku-buku tentang ilmu pengetahuan, sastra, filsafat, agama, dan feminisme.
Kartini bercita-cita untuk mendirikan sekolah bagi perempuan pribumi agar mereka dapat memperoleh pendidikan dan kemandirian.
Ia berhasil merealisasikan cita-citanya dengan mendirikan sekolah wanita pertama di Indonesia pada tahun 1903 di Rembang dengan bantuan suaminya, Raden Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.
Kartini meninggal pada tahun 1904 setelah melahirkan anak pertamanya. Surat-suratnya kemudian diterbitkan oleh temannya, Mr J.H. Abendanon dengan judul Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya) pada tahun 1911.
Buku ini menjadi inspirasi bagi banyak perempuan Indonesia untuk mengikuti jejak Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita.
Selain Kartini, ada juga tokoh-tokoh perempuan lain yang berperan dalam sejarah emansipasi wanita di Indonesia, seperti Dewi Sartika (pendiri sekolah wanita Siti Sundari), Nyai Ahmad Dahlan (pendiri Aisyiyah), Maria Walanda Maramis (pendiri PIKAT), Roekmini (pendiri Puteri Indonesia), Rasuna Said (aktivis politik), Fatmawati (istri Presiden Soekarno), Megawati Soekarnoputri (presiden wanita pertama Indonesia), dan lain-lain.
Perempuan di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan berliku dalam memperjuangkan hak dan kesetaraannya dengan laki-laki. Mereka mengalami pasang surut dalam posisi sosial mereka dari masa ke masa.
Mereka juga berkontribusi dalam pembangunan bangsa dan negara dengan berbagai cara sesuai dengan zamannya.
0 Comments