Mengenal Kerajaan-Kerajaan Besar di Nusantara dan WarisannyaNusantara adalah sebutan untuk wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatra hingga Papua, yang kini menjadi bagian dari negara Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina.

Nusantara memiliki sejarah yang panjang dan kaya akan peradaban yang berkembang di berbagai daerah.

Sejak abad ke-4 Masehi, Nusantara telah menjadi tempat berdirinya berbagai kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya.

Kerajaan-kerajaan di Nusantara memiliki keunikan dan kekhasan masing-masing, baik dari segi budaya, agama, politik, ekonomi, maupun militer.

Beberapa kerajaan bahkan mampu menguasai wilayah yang sangat luas dan menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain di dunia.

Kerajaan-kerajaan di Nusantara juga meninggalkan warisan berupa peninggalan sejarah yang masih bisa kita lihat hingga saat ini, seperti candi, prasasti, kitab, seni, arsitektur, bahasa, dan lain-lain.

Dalam artikel ini, kita akan mengenal lebih dekat empat kerajaan besar di Nusantara yang pernah berjaya dalam sejarah, yaitu Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kesultanan Malaka, dan Kesultanan Mataram.

Kita akan mengetahui asal-usul, perkembangan, kejayaan, kemunduran, dan warisan dari masing-masing kerajaan tersebut.

Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan maritim terbesar yang pernah ada di Nusantara. Kerajaan ini didirikan sekitar abad ke-7 Masehi di wilayah Sumatra Selatan.

Pusat pemerintahannya berada di kota Palembang. Kerajaan ini menguasai jalur perdagangan laut antara India dan Tiongkok serta sebagian besar wilayah Sumatra, Jawa Barat, Semenanjung Malaya, dan Thailand.

Asal-usul

Tidak banyak sumber sejarah yang menjelaskan asal-usul Kerajaan Sriwijaya. Salah satu sumber tertua adalah Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang pada tahun 1920.

Prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu Kuno dengan aksara Pallawa dan bertarikh 682 Masehi. Prasasti ini menceritakan tentang perjalanan Dapunta Hyang Sri Jayanasa yang melakukan siddhayatra (ekspedisi suci) untuk menaklukkan wilayah-wilayah di sekitarnya dengan bantuan tentara dan kapal-kapal.

Dari prasasti ini, dapat disimpulkan bahwa Dapunta Hyang adalah pendiri dan raja pertama Kerajaan Sriwijaya. Nama Sriwijaya sendiri mungkin berasal dari kata Sanskerta “Sri” yang berarti kekayaan atau kemuliaan dan “Vijaya” yang berarti kemenangan atau kejayaan.

Perkembangan

Kerajaan Sriwijaya mengalami perkembangan pesat sejak abad ke-8 hingga abad ke-10 Masehi. Hal ini terlihat dari catatan-catatan perjalanan para pedagang dan biksu dari India dan Tiongkok yang mengunjungi Sriwijaya.

Mereka menyebutkan bahwa Sriwijaya adalah kerajaan yang makmur, kuat, damai, dan ramah terhadap tamu-tamunya.

Kekuatan Sriwijaya terletak pada armada lautnya yang tangguh dan menguasai jalur perdagangan strategis antara India dan Tiongkok.

Sriwijaya juga menjalin hubungan baik dengan kedua negara tersebut serta negara-negara lain di Asia Tenggara. Sriwijaya menjadi pusat perdagangan rempah-rempah, emas, perak, sutra, porselen, kain, dan barang-barang lainnya.

Selain itu, Sriwijaya juga menjadi pusat penyebaran agama Buddha di kawasan ini. Sriwijaya memiliki banyak vihara (tempat ibadah umat Buddha) dan sekolah-sekolah agama Buddha yang terkenal.

Salah satu tokoh agama Buddha terkemuka yang berasal dari Sriwijaya adalah Atisha (980-1054 M), yang membawa aliran Buddha Tantrayana ke Tibet.

Kejayaan

Masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya terjadi pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa (tahun 792-835 M). Pada masa ini, Sriwijaya berhasil menaklukkan Kerajaan Jawa Tengah (Mataram Kuno) yang dipimpin oleh Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra.

Hal ini diketahui dari Prasasti Nalanda yang ditemukan di India pada tahun 1925. Prasasti ini ditulis oleh seorang biksu Buddha bernama Wiwaha yang merupakan utusan Raja Balaputradewa untuk mempersembahkan sebuah patung Buddha kepada Universitas Nalanda.

Selain Jawa Tengah, Sriwijaya juga menguasai wilayah Jawa Barat (Tarumanagara), Kalimantan (Kutai), Sulawesi Selatan (Luwu), Bali (Bedulu), Lombok (Sumbawa), Semenanjung Malaka (Langkasuka), Thailand Selatan (Tambralinga), Kamboja (Zhenla), dan Vietnam Selatan (Champa). Dengan demikian, Sriwijaya menjadi kerajaan terbesar dan terkuat di Asia Tenggara pada saat itu.

Kemunduran

Kemunduran Kerajaan Sriwijaya dimulai pada abad ke-11 Masehi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

  • Persaingan perdagangan dengan Kerajaan Chola dari India Selatan yang menyerang Sriwijaya pada tahun 1025 M. Serangan ini mengakibatkan kerusakan pada pelabuhan-pelabuhan penting Sriwijaya seperti Palembang dan Jambi.
  • Pemberontakan wilayah-wilayah bawahan Sriwijaya yang ingin melepaskan diri dari kekuasaannya. Beberapa contoh adalah Kerajaan Kediri di Jawa Timur yang didirikan oleh Airlangga pada tahun 1045 M[^1^][2], Kerajaan Malayu di Sumatra Barat yang didirikan oleh Adityawarman pada tahun 1347 M, dan Kesultanan Malaka di Semenanjung Malaka yang didirikan oleh Parameswara pada tahun 1400 M.
  • Pergeseran jalur perdagangan laut dari Selat Malaka ke Selat Sunda karena adanya ancaman bajak laut[^1^][2]. Hal ini menyebabkan berkurangnya pendapatan Sriwijaya dari perdagangan.
  • Pengaruh agama Islam yang mulai masuk ke Nusantara sejak abad ke-13 Masehi. Agama Islam menarik banyak penganut dari kalangan pedagang dan rakyat jelata yang merasa tidak puas dengan sistem kasta dalam agama Hindu-Buddha.

Akhirnya, Kerajaan Sriwijaya runtuh pada abad ke-14 Masehi setelah diserang oleh Kerajaan Majapahit dari Jawa Timur.

Pusat pemerintahan Sriwijaya dipindahkan ke Minanga Tamwan (sekarang Muara Enim) dan kemudian ke Darmasraya (sekarang Sawahlunto) dan kemudian ke Pagaruyung (sekarang Tanah Datar).

Kerajaan Majapahit

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.

Kerajaan ini berdiri pada tahun 1293 M dan didirikan oleh Raden Wijaya yang dinobatkan dengan nama Kertarajasa Jayawardhana. Pusat pemerintahannya berada di wilayah Trowulan (sekarang Mojokerto) di Jawa Timur.

Asal-usul

Kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan dari Kerajaan Singhasari yang runtuh akibat serangan dari bangsa Mongol pada tahun 1292 M.

Raden Wijaya adalah menantu dari Kertanegara, raja terakhir Singhasari yang tewas dalam serangan tersebut. Raden Wijaya berhasil melarikan diri ke Madura dan mendapat bantuan dari Adipati Wiraraja untuk menyerahkan diri kepada pasukan Mongol sebagai tawanan.

Raden Wijaya kemudian meminta izin kepada Kubilai Khan, kaisar Mongol, untuk membuka hutan di daerah Tarik (sekarang Sidoarjo) sebagai tempat tinggalnya.

Kubilai Khan menyetujui permintaan tersebut dan memberikan bantuan pasukan untuk membantu Raden Wijaya.

Namun, Raden Wijaya ternyata memiliki rencana lain. Ia membangun benteng di Tarik dan menyerang pasukan Mongol dari belakang dengan bantuan pasukan dari Kediri, Janggala, dan Bali.

Pasukan Mongol kocar-kacir dan mundur ke pelabuhan Tuban. Raden Wijaya kemudian mengambil alih bekas ibu kota Singhasari dan mendirikan Kerajaan Majapahit pada tanggal 10 November 1293 M. Nama Majapahit berasal dari nama pohon maja yang banyak tumbuh di daerah Tarik.

Perkembangan

Kerajaan Majapahit mengalami perkembangan pesat sejak abad ke-14 hingga abad ke-15 M. Hal ini terlihat dari karya sastra yang ditulis oleh para pujangga kerajaan, seperti Nagarakretagama, Pararaton, Kidung Sunda, Kidung Harsawijaya, dan lain-lain. Karya-karya ini menceritakan tentang sejarah, budaya, politik, ekonomi, militer, agama, dan kehidupan masyarakat Majapahit.

Kekuatan Majapahit terletak pada sistem pemerintahan yang efektif dan efisien yang dipimpin oleh raja-raja yang bijaksana dan berwibawa.

Majapahit juga memiliki pasukan yang tangguh dan disiplin yang dipimpin oleh panglima-panglima perang yang berani dan cerdik. Majapahit juga menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara maupun di luar Nusantara.

Majapahit menjadi pusat penyebaran agama Hindu-Buddha di kawasan ini. Majapahit memiliki banyak candi-candi yang megah dan indah yang menjadi tempat ibadah dan pemujaan bagi umat Hindu-Buddha.

Majapahit juga memiliki sekolah-sekolah agama Hindu-Buddha yang terkenal, seperti Sang Hyang Kamahayanikan, Sang Hyang Siwabuddhi, Sang Hyang Tattwajnana, dan lain-lain.

Kejayaan

Masa kejayaan Kerajaan Majapahit terjadi pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (tahun 1350-1389 M) dan Perdana Menteri Gajah Mada (tahun 1334-1364 M). Pada masa ini, Majapahit berhasil menaklukkan hampir seluruh wilayah Nusantara dan sebagian wilayah Asia Tenggara.

Hal ini diketahui dari sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada pada tahun 1334 M. Sumpah Palapa berbunyi:

“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa lamun kalah ring Gurun ring Seram Tanjung Pura ring Haru ring Pahang Gurun ring Sundha ring Wanin ring Jawa ring Lamuri ring Samudra ing Pasai Ceylon ing Malaka ing Malayu ing Bali ing Sunda ing Kadiri ing Janggala ing Panjalu ing Gurun ing Keling ing Kahuripan ing Dwipantara ing Madura ing Bali nga saget urung Daha nga saget urung.

Artinya:

“Aku Gajah Mada patih amungkubumi bersumpah tidak akan merasakan buah sirih pinang sebelum aku berhasil menaklukkan Nusantara: Kalau sudah berhasil menaklukkan Gurun (Maluku), Seram (Seram), Tanjung Pura (Kalimantan Barat), Haru (Sumatra Utara), Pahang (Malaysia), Dompo (Sumbawa), Bali (Bali), Sunda (Jawa Barat), Palembang (Sumatra Selatan), Tumasik (Singapura), Samudra (Aceh), Pasai (Aceh Utara), Ceylon (Sri Lanka), Malaka (Malaysia), Malayu (Jambi), Bali (Bali), Sunda (Jawa Barat), Kadiri (Jawa Timur), Jenggala (Jawa Timur), Panjalu (Jawa Barat), Gurun (Maluku), Keling (India Selatan), Kahuripan (Jawa Timur), Dwipantara (Jawa Barat), Madura (Madura), Bali tidak bisa ditaklukkan Daha tidak bisa ditaklukkan.

Berdasarkan sumpah Palapa tersebut, dapat disimpulkan bahwa wilayah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, Lombok, Sumbawa, Jawa, Madura, Semenanjung Malaka, Singapura, Malaysia Selatan, Thailand Selatan

lainnya. Hal ini diketahui dari kitab Nagarakretagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 M³. Kitab ini menceritakan tentang perjalanan Raja Hayam Wuruk ke berbagai wilayah di bawah kekuasaan Majapahit dan menggambarkan kemegahan dan kemakmuran kerajaan tersebut³.

Kemunduran

Kemunduran Kerajaan Majapahit dimulai pada abad ke-15 Masehi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

  • Perselisihan internal di antara keluarga kerajaan dan pejabat-pejabat tinggi yang memperebutkan kekuasaan. Beberapa contoh adalah pemberontakan Ra Kuti pada tahun 1319 M³, perang saudara Paregreg pada tahun 1404-1406 M³, dan perang saudara Bubat pada tahun 1456-1468 M.
  • Pemberontakan wilayah-wilayah bawahan Majapahit yang ingin melepaskan diri dari kekuasaannya. Beberapa contoh adalah Kesultanan Malaka yang didirikan oleh Parameswara pada tahun 1400 M, Kesultanan Demak yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1475 M, dan Kesultanan Aceh yang didirikan oleh Ali Mughayat Syah pada tahun 1496 M.
  • Pengaruh agama Islam yang semakin kuat di Nusantara sejak abad ke-15 Masehi³. Agama Islam menarik banyak penganut dari kalangan pedagang dan rakyat jelata yang merasa tidak puas dengan sistem kasta dalam agama Hindu-Buddha.
  • Persaingan perdagangan dengan bangsa-bangsa Eropa yang mulai masuk ke Nusantara sejak abad ke-16 Masehi. Bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris memiliki teknologi dan senjata yang lebih canggih daripada Majapahit.

Akhirnya, Kerajaan Majapahit runtuh pada abad ke-16 Masehi setelah diserang oleh Kesultanan Demak dari Jawa Tengah. Pusat pemerintahan Majapahit dipindahkan ke Daha (sekarang Kediri) dan kemudian ke Blambangan (sekarang Banyuwangi).

Kesultanan Malaka

Kesultanan Malaka adalah sebuah kerajaan Melayu yang pernah berdiri di Melaka, Malaysia. Kerajaan ini didirikan oleh Parameswara, seorang pangeran Hindu keturunan Palembang.

Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada abad ke-15 dengan menguasai jalur pelayaran Selat Melaka, sebelum ditaklukan oleh Portugis pada 1511 M.

Asal-usul

Kesultanan Malaka merupakan kelanjutan dari Kerajaan Singapura yang kemudian mengalami pemindahan ibu kota ke Melaka karena serangan dari Jawa (Majapahit) dan Siam (Thailand).

Parameswara adalah raja terakhir Singapura yang berhasil melarikan diri dari serangan tersebut. Ia mencari tempat baru untuk mendirikan kerajaannya dan akhirnya menemukan sebuah pulau di muara Sungai Bertam yang disebut Melaka.

Parameswara mendirikan kerajaannya di Melaka pada tahun 1400 M dan menamakan dirinya sebagai Sultan Iskandar Syah. Ia memeluk agama Islam setelah menikahi putri dari Pasai, sebuah kerajaan Islam di Aceh.

Ia juga menjalin hubungan baik dengan Tiongkok, India, dan negara-negara lain di Asia Tenggara. Ia membuat Melaka menjadi pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam di kawasan ini.

Perkembangan

Kesultanan Malaka mengalami perkembangan pesat sejak abad ke-15 hingga awal abad ke-16 M. Hal ini terlihat dari catatan-catatan perjalanan para pedagang dan pelaut dari Eropa, Timur Tengah, India, Tiongkok, dan Asia Tenggara yang mengunjungi Melaka.

Mereka menyebutkan bahwa Melaka adalah kerajaan yang makmur, kuat, damai, dan ramah terhadap tamu-tamunya.

Kekuatan Malaka terletak pada armada lautnya yang tangguh dan menguasai jalur perdagangan strategis antara India dan Tiongkok melalui Selat Melaka.

Malaka juga menjalin hubungan baik dengan Tiongkok yang memberikan perlindungan dan bantuan kepada Malaka. Malaka menjadi pusat perdagangan rempah-rempah, emas, perak, sutra, porselen, kain, dan barang-barang lainnya.

Selain itu, Malaka juga menjadi pusat penyebaran agama Islam di kawasan ini. Malaka memiliki banyak masjid-masjid yang megah dan indah yang menjadi tempat ibadah dan pemujaan bagi umat Islam.

Malaka juga memiliki sekolah-sekolah agama Islam yang terkenal, seperti Darul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan), Darul Qiyam (Rumah Kekal), Darul Fikr (Rumah Pemikiran), dan lain-lain.

Kejayaan

Masa kejayaan Kesultanan Malaka terjadi pada masa pemerintahan Sultan Mansur Syah (tahun 1459-1477 M). Pada masa ini, Malaka berhasil menaklukkan Pahang, Kedah Trengganu, dan sejumlah daerah di Sumatera.

Pada masa pemerintahannya, Melaka juga menjalin hubungan baik dengan Tiongkok, India, Siam, dan negara-negara lain di Asia Tenggara.

Kemunduran

Kemunduran Kesultanan Malaka dimulai pada awal abad ke-16 Masehi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

  • Perselisihan internal di antara keluarga kerajaan dan pejabat-pejabat tinggi yang memperebutkan kekuasaan. Beberapa contoh adalah pemberontakan Raja Kecil pada tahun 1506 M, pemberontakan Tun Mutahir pada tahun 1509 M, dan pemberontakan Tun Ali pada tahun 1510 M.
  • Pemberontakan wilayah-wilayah bawahan Malaka yang ingin melepaskan diri dari kekuasaannya. Beberapa contoh adalah Kesultanan Aceh yang didirikan oleh Ali Mughayat Syah pada tahun 1496 M, Kesultanan Johor yang didirikan oleh Mahmud Syah pada tahun 1512 M, dan Kesultanan Perak yang didirikan oleh Sultan Muzaffar Syah pada tahun 1528 M.
  • Serangan bangsa-bangsa Eropa yang mulai masuk ke Nusantara sejak abad ke-16 Masehi¹. Bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris memiliki teknologi dan senjata yang lebih canggih daripada Malaka. Mereka juga ingin menguasai jalur perdagangan rempah-rempah di Selat Melaka.

Akhirnya, Kesultanan Malaka runtuh pada tahun 1511 M setelah diserang oleh Portugis yang dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque. Pusat pemerintahan Malaka dipindahkan ke Johor dan kemudian ke Riau.

Kesultanan Mataram

Kesultanan Mataram adalah sebuah kerajaan Islam di Jawa yang berdiri pada abad ke-16 hingga abad ke-18 M. Kerajaan ini didirikan oleh Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati.

Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan ketika diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645 M). Di bawah kekuasaannya, Mataram mampu menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura.

Asal-usul

Kesultanan Mataram merupakan kelanjutan dari Kerajaan Pajang yang kemudian mengalami pemindahan ibu kota ke Kotagede (sekarang Yogyakarta) karena serangan dari Demak.

Danang Sutawijaya adalah menantu dari Hadiwijaya, raja terakhir Pajang yang tewas dalam serangan tersebut.

Danang Sutawijaya berhasil melarikan diri dan mendapat bantuan dari Ki Ageng Pemanahan untuk menyerahkan diri kepada Demak sebagai tawanan.

Danang Sutawijaya kemudian meminta izin kepada Sultan Demak untuk membuka hutan di daerah Mentaok (sekarang Kotagede) sebagai tempat tinggalnya.

Sultan Demak menyetujui permintaan tersebut dan memberikan bantuan pasukan untuk membantu Danang Sutawijaya.

Namun, Danang Sutawijaya ternyata memiliki rencana lain. Ia membangun benteng di Mentaok dan menyerang pasukan Demak dari belakang dengan bantuan pasukan dari Blitar, Kediri, dan Madura.

Pasukan Demak kocar-kacir dan mundur ke Jawa Tengah. Danang Sutawijaya kemudian mengambil alih bekas ibu kota Pajang dan mendirikan Kesultanan Mataram pada tahun 1586 M.

Nama Mataram berasal dari nama sebuah desa di daerah Gunung Kidul yang pernah menjadi tempat tinggalnya.

Perkembangan

Kesultanan Mataram mengalami perkembangan pesat sejak abad ke-17 hingga awal abad ke-18 M. Hal ini terlihat dari karya sastra yang ditulis oleh para pujangga kerajaan, seperti Babad Tanah Jawi, Serat Centhini, Serat Kandha, Serat Damarwulan, dan lain-lain.

Karya-karya ini menceritakan tentang sejarah, budaya, politik, ekonomi, militer, agama, dan kehidupan masyarakat Mataram.

Kekuatan Mataram terletak pada sistem pemerintahan yang efektif dan efisien yang dipimpin oleh raja-raja yang bijaksana dan berwibawa.

Mataram juga memiliki pasukan yang tangguh dan disiplin yang dipimpin oleh panglima-panglima perang yang berani dan cerdik. Mataram juga menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan lain di Jawa maupun di luar Jawa.

Mataram menjadi pusat penyebaran agama Islam di kawasan ini. Mataram memiliki banyak masjid-masjid yang megah dan indah yang menjadi tempat ibadah dan pemujaan bagi umat Islam.

Mataram juga memiliki sekolah-sekolah agama Islam yang terkenal, seperti Darul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan), Darul Qiyam (Rumah Kekal), Darul Fikr (Rumah Pemikiran), dan lain-lain.

Kejayaan

Masa kejayaan Kesultanan Mataram terjadi pada masa pemerintahan Sultan Agung (tahun 1613-1645 M). Pada masa ini, Mataram berhasil menaklukkan hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura, Bali, Lombok, Sumbawa, dan Kalimantan.

Pada masa pemerintahannya, Mataram juga memerangi VOC di Batavia untuk mencegah didirikannya loji-loji dagang di pantai utara.

Kemunduran

Kemunduran Kesultanan Mataram dimulai pada pertengahan abad ke-17 Masehi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

  • Perselisihan internal di antara keluarga kerajaan dan pejabat-pejabat tinggi yang memperebutkan kekuasaan. Beberapa contoh adalah pemberontakan Raden Mas Alit pada tahun 1677 M, pemberontakan Trunojoyo pada tahun 1674-1680 M, pemberontakan Sunan Kuning pada tahun 1703-1705 M, dan pemberontakan Raden Mas Said pada tahun 1741-1757 M.
  • Pemberontakan wilayah-wilayah bawahan Mataram yang ingin melepaskan diri dari kekuasaannya. Beberapa contoh adalah Kesultanan Banten yang didirikan oleh Maulana Hasanuddin pada tahun 1526 M, Kesultanan Cirebon yang didirikan oleh Sunan Gunung Jati pada tahun 1445 M, Kesultanan Demak yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1475 M, dan Kesultanan Gowa yang didirikan oleh Daeng Manrabia pada tahun 1511 M.
  • Pengaruh VOC yang semakin kuat di Nusantara sejak abad ke-17 Masehi. VOC memiliki teknologi dan senjata yang lebih canggih daripada Mataram. VOC juga memiliki kepentingan ekonomi dan politik yang bertentangan dengan Mataram. VOC sering kali mencampuri urusan dalam negeri Mataram dan memaksa Mataram untuk menandatangani perjanjian-perjanjian yang merugikan Mataram.

Akhirnya, Kesultanan Mataram runtuh pada tahun 1755 M setelah ditandatangani Perjanjian Giyanti yang disepakati bersama VOC.

Dalam perjanjian tersebut, Kesultanan Mataram dibagi menjadi dua kekuasaan, yaitu Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwana III dan Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Hamengkubuwana I.

Peninggalan-peninggalan Kesultanan Mataram

Kesultanan Mataram meninggalkan banyak peninggalan berupa bangunan-bangunan bersejarah, karya sastra, seni budaya, dan tradisi-tradisi yang masih dilestarikan hingga sekarang. Beberapa contoh peninggalan-peninggalan tersebut adalah sebagai berikut:

  • Masjid Gedhe Kauman. Masjid ini merupakan masjid tertua di Yogyakarta yang dibangun pada tahun 1773 M oleh Sultan Hamengkubuwana I. Masjid ini berfungsi sebagai tempat ibadah dan pusat kegiatan keagamaan bagi masyarakat Yogyakarta. Masjid ini memiliki arsitektur khas Jawa dengan atap limasan dan tiang-tiang kayu jati.
  • Taman Sari. Taman Sari merupakan kompleks istana air yang dibangun pada tahun 1758-1765 M oleh Sultan Hamengkubuwana I dengan bantuan arsitek Portugis bernama Demang Tegis. Taman Sari berfungsi sebagai tempat rekreasi dan peristirahatan bagi keluarga kerajaan. Taman Sari memiliki beberapa bangunan menarik seperti Umbul Binangun (kolam renang), Sumur Gumuling (masjid bawah tanah), Pasareyan Ledok Sari (taman bunga), dan Gedhong Kenongo (gedung kenanga).
  • Keraton Surakarta. Keraton Surakarta merupakan istana resmi dari Kasunanan Surakarta yang dibangun pada tahun 1745 M oleh Pakubuwana II dengan bantuan arsitek Cina bernama Sing Sing Ong³. Keraton Surakarta berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pusat kebudayaan Jawa. Keraton Surakarta memiliki beberapa bangunan menarik seperti Siti Hinggil (balairung utama), Bangsal Prabayeksa (museum kerajaan), Bangsal Manguntur Tangkil (tempat singgasana), dan Bangsal Sri Manganti (tempat audiensi).
  • Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi dari Kasultanan Yogyakarta yang dibangun pada tahun 1755 M oleh Hamengkubuwana I dengan bantuan arsitek Jawa bernama Mangundipura³. Keraton Yogyakarta berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pusat kebudayaan Jawa. Keraton Yogyakarta memiliki beberapa bangunan menarik seperti Pagelaran (balairung utama), Bangsal Kencana (museum kerajaan), Bangsal Trajumas (tempat singgasana), dan Bangsal Witono (tempat audiensi).
  • Babad Tanah Jawi. Babad Tanah Jawi merupakan karya sastra berupa naskah sejarah Jawa yang ditulis oleh para pujangga kerajaan Mataram antara abad ke-17 hingga abad ke-19 M. Babad Tanah Jawi menceritakan tentang asal-usul tanah Jawa, silsilah raja-raja Jawa, peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Jawa, serta adat-istiadat dan kepercayaan masyarakat Jawa.
  • Serat Centhini. Serat Centhini merupakan karya sastra berupa naskah roman picisan Jawa yang ditulis oleh para pujangga kerajaan Mataram antara abad ke-18 hingga abad ke-19 M. Serat Centhini menceritakan tentang petualangan cinta sepasang suami istri bernama Ontowiryo dan Dewi Sukesi yang terpisah karena ulah raja-raja Jawa. Serat Centhini juga mengandung banyak ajaran agama Islam tasawuf yang disampaikan melalui kisah-kisah mistis.
  • Wayang Kulit. Wayang Kulit merupakan seni pertunjukan tradisional Jawa yang menggunakan boneka kulit sebagai media untuk menceritakan kisah-kisah epik seperti Ramayana dan Mahabharata. Wayang Kulit berkembang pesat di era kerajaan Mataram karena mendapat dukungan dari para raja-raja Jawa yang gemar menyaksikan pertunjukan tersebut. Wayang Kulit juga menjadi sarana untuk menyampaikan nilai-nilai moral dan religius kepada masyarakat Jawa.
  • Gamelan. Gamelan merupakan seni musik tradisional Jawa yang menggunakan alat-alat musik perkusi seperti gong, kendhang, saron, bonang, gambang, gender, slenthem, suling, rebab, dan lain-lain. Gamelan berkembang pesat di era kerajaan Mataram karena mendapat dukungan dari para raja-raja Jawa yang gemar mendengarkan musik tersebut. Gamelan juga menjadi sarana untuk mengiringi pertunjukan-pertunjukan seni seperti wayang kulit, tari-tarian, ludruk, ketoprak, dan lain-lain.
  • Batik. Batik merupakan seni lukis tradisional Jawa yang menggunakan lilin sebagai media untuk membuat motif-motif indah di atas kain. Batik berkembang pesat di era kerajaan Mataram karena mendapat dukungan dari para raja-raja Jawa yang gemar mengenakan pakaian batik. Batik juga menjadi sarana untuk menunjukkan status sosial dan identitas budaya masyarakat Jawa. Batik memiliki banyak motif yang memiliki makna dan filosofi tersendiri, seperti parang, kawung, truntum, ceplok, sidomukti, dan lain-lain.
  • Keris. Keris merupakan senjata tradisional Jawa yang berbentuk pisau lurus atau melengkung dengan pamor atau corak khas di permukaannya. Keris berkembang pesat di era kerajaan Mataram karena mendapat dukungan dari para raja-raja Jawa yang gemar mengoleksi dan menggunakan senjata tersebut. Keris juga menjadi sarana untuk menunjukkan kekuatan dan kewibawaan pemiliknya. Keris memiliki banyak jenis yang memiliki nama dan ciri khas tersendiri, seperti naga siluman, naga runting, tilam sari, luk 9, luk 13, dan lain-lain.

Itulah beberapa peninggalan-peninggalan dari Kesultanan Mataram yang masih bisa kita lihat dan nikmati hingga sekarang.

Peninggalan-peninggalan tersebut merupakan bukti dari kebesaran dan kebudayaan kerajaan Mataram yang pernah berjaya di tanah Jawa. Semoga kita bisa menghargai dan melestarikan peninggalan-peninggalan tersebut sebagai warisan sejarah dan budaya bangsa kita.

Categories: Uncategorized

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *